Pasal 100 KUHP Celah Sambo Lolos Hukuman Mati?

Lingkar.news – Mantan Kadiv Propam Polri, Ferdy Sambo dalam kasus pembunuhan berencana Brigadir J atau Nofriansyah Yosua Hutabarat, telah dijatuhi vonis hukuman mati oleh Majelis Hakim, dan telah resmi diumumkan pada Senin, 13 Februari 2023.

Namun, hukuman pidana mati yang dijatuhkan kepada Ferdy Sambo menjadi sorotan. Apakah hukuman mati tersebut akan terjadi kepada Ferdy Sambo?.

Bersamaan dengan turunnya vonis hukuman mati Ferdy Sambo, video milik pengacara kondang Hotman Paris pun viral, meskipun dalam video tersebut Hotman Paris tidak membahas soal Ferdy Sambo.

Dalam video tersebut, Hotman menyinggung poin dalam KUHP Pasal 100 ayat (1) yang dapat menyebabkan hukuman mati pada seseorang bisa batal.

Tak hanya itu, Hotman pun turut menanyakan siapa pihak yang berperan dalam pembuatan aturan tersebut, sehingga dapat menimbulkan celah longgarnya penegakan hukum di Indonesia.

Hotman menganalisis bahwa, dalam pasal tersebut, terdakwa hukuman mati bisa lolos dari eksekusi jika setelah 10 tahun diberi kesempatan menunjukkan kelakuan baik. Sehingga, Hotman merasa keberatan atas isi pasal tersebut.

“Bapak Jokowi segera batalkan undang-undang ini,” kata Hotman Paris seperti yang dilansir pada Selasa, 14 Februari 2023, dalam video yang beredar di media sosial.

Ia mengkhawatirkan bahwa, Pasal 100 juga dapat memperbesar potensi suap.

“Nanti bakal mahal surat berkelakuan baik ke Kepala Lapas Penjara daripada dihukum mati, huh,” ujar Hotman Paris.

Hotman pun mempertanyakan arti persidangan, vonis, hingga Peninjauan Kembali (PK) hukuman mati, jika pada akhirnya terdakwa tidak boleh dihukum mati.

“Jadi apa artinya gitu loh sudah persidangan, sudah divonis sampai PK hukuman mati, tapi tidak boleh dihukum mati. Harus menunggu 10 tahun untuk melihat apakah mental orang ini berubah menjadi berkelakuan baik,” tutur dia.

Diketahui, Dalam KUHP Nasional, ketentuan hukuman mati diatur Pasal 100. Ayat (1) menyebut terpidana hukuman mati menjalani masa percobaan selama 10 tahun.

Dalam rentang waktu tersebut, terdapat tiga hal yang menjadi pertimbangan apakah terpidana akan dieksekusi, yakni rasa penyesalan terdakwa dan ada harapan memperbaiki diri. Kemudian, peran terdakwa dalam tindak pidana atau adanya alasan yang meringankan.

“Pidana mati dengan masa percobaan sebagaimana dimaksud pada Ayat (1) harus dicantumkan dalam putusan pengadilan,” bunyi Ayat (2) Pasal tersebut.

Celah bagi terpidana mati untuk lolos dari eksekusi tercantum di Ayat (4) yang menyatakan, “jika selama masa percobaan 10 tahun terpidana mati menunjukkan sikap dan perbuatan terpuji, pidana mati dapat diubah menjadi penjara seumur hidup dengan Keputusan Presiden (Keppres) setelah mendapatkan pertimbangan MA”.

Eksekusi hukuman mati baru bisa dilaksanakan jika selama masa percobaan 10 tahun terpidana tidak menunjukkan sikap dan perbuatan terpuji, serta tidak ada harapan untuk memperbaiki.

“Pidana mati dapat dilaksanakan atas perintah Jaksa Agung,” sebagaimana dikutip dari Ayat (5) Pasal 100.

Meski telah disahkan pada 6 Desember 2022, KUHP Nasional baru berlaku per Januari 2026. (Lingkar Network | Lingkar.news)