Kemendagri Susun Draf RUU Pemilu, Lima Poin Penting Jadi Landasan

JAKARTA, Lingkar.news – Kementerian Dalam Negeri (Kemendagri) sudah mulai menyusun draf Rancangan Undang-Undang (RUU) tentang Perubahan Kedua atas Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilihan Umum (Pemilu) yang disebut akan menjadi paket UU Politik.

Hal itu disampaikan Wakil Menteri Dalam Negeri (Wamendagri) Bima Arya Sugiarto dalam Diskusi Publik tentang Revisi Paket RUU Pemilu yang diselenggarakan Partai Demokrat di Kantor DPP Partai Demokrat, Jakarta, Senin, 19 Mei 2025.

“Kementerian Dalam Negeri hari ini sedang menyusun draf, dan kita membuka ruang publik yang sangat besar,” kata Bima.

Menurutnya, aspirasi publik yang besar dalam penyusunan draf RUU tersebut akan menghasilkan UU makin berkualitas.

Dia mengatakan penyusunan RUU tersebut juga tidak boleh hanya mengandalkan kepentingan politik saja, tetapi harus menyerap aspirasi dari berbagai peneliti atau akademisi.

“Semua sudah ada perdebatan di belakang yang kita harus lanjutkan ke depan,” kata Bima.

Dia menjelaskan bahwa sebetulnya RUU tersebut merupakan inisiatif dari DPR RI. Namun, pemerintah juga memiliki perspektif tersendiri untuk RUU tersebut.

Saat ini, kata dia, Badan Perencanaan Pembangunan Nasional (Bappenas) juga sudah memiliki kajian tersendiri mengenai RUU tersebut.

Selain itu, Kemendagri juga perlu berkoordinasi lintas kementerian, mulai dari Kementerian Koordinator Bidang Politik dan Keamanan, hingga Kementerian Hukum.

Di sisi lain, dia mengatakan bahwa Indonesia sudah melewati sejumlah ajang politik yang paling rumit di dunia.

Menurutnya, pemilu yang telah lalu pun menyisakan berbagai catatan evaluasi, tetapi tak berarti sistem yang sudah digunakan bakal semuanya dibongkar.

Maka dari itu, penyusunan RUU tersebut tidak boleh mengabaikan sejarah yang telah dilewati sekaligus harus mempelajari semua putusan MK terkait uji materi UU tentang Pemilu tersebut.

“Kita coba sekarang ini melakukan kodifikasi. Mana-mana yang perlu untuk difokuskan, belum tentu semuanya, tapi isu-isu yang sangat krusial,” katanya.

Ia mengungkapkan bahwa pemerintah memiliki lima poin landasan terkait RUU Pemilu tersebut.

Yang pertama, dia menjelaskan, bahwa apapun yang akan direvisi nantinya, UU tersebut harus memperkuat sistem presidensial.

Lalu yang kedua, dia mengatakan bahwa UU Pemilu yang baru nantinya harus memperkuat kualitas representasi.

Kemudian, dia menjelaskan poin yang ketiga adalah UU Pemilu harus menyederhanakan sistem kepartaian.

Dia mengatakan bahwa putusan Mahkamah Konstitusi soal ambang batas pencalonan dalam pemilu atau ambang batas parlemen harus mempertimbangkan poin penyederhanaan kepartaian tersebut.

“Menyederhanakan sistem kepartaian tidak mudah, setiap saat bisa ada letupan fluktuasi,” kata dia.

Selain itu, menurut dia, poin yang keempat adalah soal otonomi daerah yang tidak boleh dilupakan dalam desain politik.

Poin tersebut, kata dia, akan menyangkut terhadap pembahasan usulan Pilkada yang dipilih oleh DPRD.

“Nyambung nggak dengan konsep otonomi daerah? Nyambung nggak dengan sistem presidensial?” katanya.

Yang terakhir, dia mengatakan bahwa RUU Pemilu itu harus memperkokoh integrasi bangsa dalam bingkai Negara Kesatuan Republik Indonesia.

“Jangan sampai desain sistem politik yang timbul justru memecah kesatuan bangsa. Jadi ini PR (pekerjaan rumah) bagi kita bersama, sehingga jangan sampai kepentingan politik menihilkan tadi semua,” katanya.

Jurnalis: Antara

Editor: Rosyid