BANDUNG, Lingkar.news – Gubernur Jawa Barat Dedi Mulyadi berkeinginan menerapkan sistem pembangunan perumahan lebih berpihak kepada masyarakat miskin, bukan segelintir elite.
Dedi menyampaikan hal tersebut saat menghadiri peluncuran Program Penguatan Ekosistem Perumahan bertajuk ‘Imah Merenah, Hirup Tumaninah’ dan Sosialisasi Kredit Usaha Rakyat (KUR) Perumahan di Sabuga Bandung, Kamis, 18 September 2025 malam.
Ia mengatakan pembangunan perumahan di Jawa Barat seharusnya tidak boleh sarat kepentingan elite maupun praktik gratifikasi.
“Setiap keuntungan yang diperoleh pengembang, harus ada bagian yang dikembalikan untuk rakyat. Minimal bangun satu atau dua kampung layak huni untuk warga miskin,” ujarnya.
Selain itu, Dedi menyoroti pola pembangunan perumahan yang cenderung eksklusif dan hanya menguntungkan segelintir pihak, tanpa memperhatikan keadilan sosial.
Dedi mencontohkan kasus di Bekasi dan Karawang, di mana kawasan elit terus tumbuh, sementara warga sekitar masih tinggal di lingkungan kumuh.
“Saya turun langsung ke Karawang, bersihkan bangunan liar pakai alat berat. Lalu bupati siapkan anggaran, rumah warga kita bangun. Tidak boleh rakyat kecil hidup berdampingan dengan rumah mewah tanpa keadilan,” bebernya.
Tak hanya itu, ia pun menyinggung lemahnya tata kelola di sektor perumahan, termasuk praktik kontraktor dan mandor nakal yang merugikan tukang dan pedagang kecil. Oleh karena itu, dia menekankan pentingnya transparansi dan keadilan dalam rantai pembangunan.
Pembangunan perumahan menurut Dedi harus mengedepankan prinsip ramah lingkungan dan sesuai karakteristik wilayah.
Ia mencontohkan pembangunan rumah bambu di daerah rawan bencana seperti Sukabumi, Garut Selatan, dan Bandung Utara sebagai solusi berkelanjutan.
“Kita ingin bangun brand rumah rakyat, bukan hanya bangunan, tapi simbol keadilan sosial. Rumah subsidi tipe 36 tidak boleh diubah jadi rumah mewah yang memicu kecemburuan,” ucapnya.
Pihaknya optimistis jika Jawa Barat mampu menyerap 30 persen dari target nasional program perumahan bersubsidi sebesar 350 ribu unit, maka dampak ekonominya akan dirasakan langsung oleh masyarakat bawah.
“Toko bangunan hidup, sopir angkut hidup, kuli bangunan hidup, tukang kayu ikut sejahtera. Ini ekosistem pembangunan yang sehat dan adil,” tuturnya.
Jurnalis: Anta
Editor: Ulfa Puspa